Subscribe

Rabu, 23 Desember 2009

Seberapa Bahagia Bangsa Kita?

Adrian White dari Universitas Leicester bikin survei belum lama ini, bangsa apa paling bahagia di dunia. Hasilnya bukan dari negara terkaya, melainkan bangsa Denmark. Bukti bahwa tidak semua bisa dibeli dengan uang. Indonesia termangu di urutan ke-64.

Survei lain satu dasawarsa lalu menyimpulkan pesan yang sama. Kebahagiaan orang di dunia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 1950. Kemajuan teknologi, ekonomi, dan fasilitas dunia ternyata tidak menambah kebahagiaan orang. Lalu apa?

Rasa bersyukur. Orang Denmark gampang bersyukur, menikmati hidup tanpa perlu berkelimpahan, hidup secukupnya (contentment), serta merasa tak perlu diperbudak kesuksesan. Kenapa Denmark bisa begitu?

Di Denmark pendidikan dan kesehatan gratis, hari tua terjamin, ditunjang filosofi hidup tak perlu ngoyo. Lain dari itu tingkat pengharapan (ekspektasi) orang Denmark rendah. Kesuksesan kecil saja sudah bikin mereka bahagia. Apabila gagal, mereka pun masih berbesar hati untuk bangkit lagi.

Itu berarti tingkat stres hidup orang Denmark minimal. Berbeda dengan seorang atlet nasional kita, yang kita kira sangat sehat, tercatat kena serangan jantung juga. Musababnya faktor stres. Pembuluh koroner jantung bisa saja menguncup (coronary spasm) kalau stres merundung.

Stres merusak badan, selain merongrong kebahagiaan. Sebagian besar penyakit orang sekarang, stres pemicunya. Jiwa yang gundah dihibahkan ke bentuk penderitaan badan (pscychosomatic). Hidup yang salah arah dan keliru pula menempuhnya menambah pikulan stres kebanyakan orang sekarang.


Paradoks ”n-Ach”

Pada awal modernisasi kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh spirit need-for-achievement (”virus jiwa n-Ach”). Jiwa bangsa-bangsa yang tak pernah merasa puas lebih laju akselerasi pembangunannya. Semua bangsa berlomba ingin lebih maju. Bangsa Troya dulu, dan bangsa Jepang sekarang, contohnya. Spirit tak pernah puas tersebut pokok pesatnya lonjakan ekonomi bangsa.

Namun, kini terbukti, bangsa yang didikte oleh keinginan dan ambisi tinggi tidak lebih berbahagia dari bangsa yang mendahulukan rasa bersyukur dan hidup secukupnya. Hal itu karena betul tak ada batas tertinggi buat kepuasan. Sayang hanya seperempat responden dunia yang meniscayai itu.

Dengan mengukur satisfaction with life index, kebahagiaan bangsa Jepang hanya di urutan ke-90 dunia. Negara kecil dan tak terlalu kaya, seperti Bahama, Swedia, Malta, Kosta Rika, dan Butan, termasuk 20 besar dunia dalam kebahagiaan bangsanya. Hidup juga perlu enjoy.

Survei kebahagiaan yang memakai data WHO, UNESCO, CIA, dan New Economic Foundation tersebut diukur dari kepuasan subyektif bangsa terhadap kesehatan, pendidikan, dan kekayaan relatif, selain tingkat pengharapan terhadap hidup. Makin rendah ekspektasi suatu bangsa, makin gampang tumbuh rasa bersyukurnya dan terangkat rasa bahagianya. Sebaliknya, makin tinggi ekspektasi bangsa, makin sering tidak puas dan menjadi kurang bahagia.

Kita melihat bagaimana orang Jepang berjalan kaki seperti dikejar hantu. Mereka rata-rata gila kerja dan tinggi ekspektasi dalam hidupnya. Begitu juga orang Korsel, China, dan Thailand, yang derajat kebahagiaannya masing-masing di urutan ke-102, ke-82, dan ke-76 saja. Tingkat pengejaran prestasi tanpa henti bangsa berbanding terbalik dengan tingkat perolehan kebahagiaan hidup.


Banyak uang tak bahagia

Filosofi orang banyak yang salah kaprah. Rata-rata orangtua membawa anak bersekolah dengan tujuan menjadi mesin pencetak uang semata. Kesuksesan hidup dibahasakan dengan uang.

Sejatinya uang betul penting. Tapi, bukan uang yang menambah kebahagiaan. Orang Denmark melihat kesuksesan hidup penting. Tapi, menikmati hidup, guyub bersama keluarga, dan teman dijadikan nilai utama. Supaya lebih berbahagia, ke situ patutnya arah hidup perlu dibawa.

Karena kesuksesan kebanyakan orang ditakar dengan uang dan harta, orang terjebak banting tulang demi uang dan harta semata. Uang, harta, dan kuasa berlimpah, tapi merasa tidak bahagia sering karena tak menyukai bidang pekerjaan. Rata-rata orangtua dan universitas sekarang telanjur keliru mengantar anak memetik kebahagiaan.

Orang bisa membeli ranjang emas, bukan tidur. Bisa membeli seks, bukan cinta. Bisa membeli obat, bukan kesehatan. Jadi benar adanya paradigma pendidikan mesti diputar agar para lulusannya bekerja hanya di profesi yang betul dicintai. Itu juga sebabnya uji motivasi masuk universitas sekarang dipandang penting menyeleksi agar kelak calon profesional tidak meraih kesuksesan yang semu. Banyak duit, tetapi tidak berbahagia.

Universitas di negara maju sekarang menerima mahasiswa tidak semata melihat prestasi akademis. Calon mahasiswa pintar katanya banyak. Namun, yang bakal menjadi profesional sejati makin sedikit. Hanya karena bila mencintai bidang pekerjaan, kesuksesan sejati dan produktivitas buat negara akan terpetik.

Pintar saja tak cukup. Sekarang anak perlu pintar plus. Beberapa jenis kecerdasan belum tentu diperoleh di sekolah. Ada jenis kecerdasan yang tak bisa dipelajarim tetapi berkembang sendirinya bila anak tidak kutu buku. Kelebihan tacit knowledge seperti itu yang tidak semua anak miliki. Menyimpan kecerdasan mampu meraih kebahagiaan, salah satunya.

Kekayaan negara bukan segalanya. Gandrung terhadap American Dreams konon yang bikin kebahagiaan bangsa Amerika yang kaya-raya cuma di urutan ke-23. Melihat hasil survei di atas tak susah bikin bangsa bahagia.

Buat kita, supaya bisa sebahagia orang Denmark, sekurang-kurangnya negara harus cukup memberi pendidikan dan kesehatan, selain jaminan hari tua. Sekolah wajib mendidik anak mudah merasa bersyukur dan meniscayai bahwa tidak ada batas tertinggi dalam hal kepuasan hidup, selain meniscayai bahwa uang tidak bisa membeli apa saja. Tidak juga mampu menebus kebahagiaan dalam hidup.


Handrawan Nadesul

Handrawan Nadesul, Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan, dan Penulis Buku.